Mengurai Keragaman sebagai Ekspresi Keberagamaan

Mengurai Keragaman sebagai Ekspresi Keberagamaan

Segala bentuk yang berbau tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama patut mendapat perhatian serius dari negara dan masyarakat Indonesia. Jika hal itu terus dibiarkan, maka akan berimplikasi pada anggapan bahwa betapa tidak tolerannya kita sebagai umat beragama.

Lalu, masih adakah jaminan kebebasan beragama di negeri ini? Dapatkah disadari bahwa keberbedaan itu hadir akibat keragaman ekspresi keberagamaan?

Ekspresi keberislaman dalam sejarahnya tidak pernah tampil dalam wajah yang tunggal. Pertama, ekspresi itu terjadi karena Islam selalu mengalami proses akulturasi dengan budaya lokal. Islam Jawa dalam beberapa hal tertentu akan jauh berbeda ekspresinya dengan Islam Sumatera dan Kalimantan. Islam di Arab tentu juga berbeda dengan Islam di Afrika. Pada akhirnya budaya-budaya lokal itu banyak menghiasi tampilan wajah peradaban Islam.

Kedua, keberagaman itu juga mungkin lahir dari ekspresi pemikiran. Dalam konteks ini, tidak ada satu pun dari disiplin atau teologi tertentu yang memiliki klaim otoritatif yang mewakili kajian Islam, meski ranah ini melahirkan beragam disiplin dan dialektika.

Ketiga, pengalaman historis juga dapat memicu keberagaman ekspresi keberagamaan dalam bentuk yang lain. Hal ini disebabkan oleh setiap massa akan melahirkan terminologi problematik dan cara penyelesaiannya sendiri. Bukan hanya itu, setiap ruang juga memiliki tipologinya sendiri, walau dalam terminologi dan konsepsi yang sama. Dengan kata lain problem-solving yang terjadi pada satu masa dan di suatu negeri belum tentu relevan di negeri lainnya.

Namun, apakah perbedaan akibat ekspresi tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kesesatan beragama?

Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Untuk mengantisipasi keliaran yang mungkin ditimbulkan akibat penafsiran agama yang berlebihan, sebagian ulama membuat rambu-rambu. Ibn Taymiyyah adalah salah satu yang meletakkan rambu-rambu itu dengan mengatakan "kembali kepada Al-Qur'an dan al-Sunnah," dan itu sebagai sebuah negasi atas hegemoni pemikiran tertentu, tanpa harus terjebak dalam pengertian skripturalistik dan tekstualis, yang bisa mereduksi pesan-pesan universal Islam.

Dalam konteks itu sebetulnya mudah terbaca bahwa realitas tafsir mungkin saja berbeda dalam setiap ruang dan waktu. Namun, pesan moral yang termanivestasi di dalamnya harus tunggal. Secara operasional, dalam skema Ibn Taymiyyah, Fazlur Rahman berpendapat, Al-Qur'an harus dijadikan sebagai sandaran etis bagi umat Islam, sementara Sunah adalah petunjuk historis di mana Nabi dan para sahabatnya mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu sendiri.

Sungguh ironi jika ada beberapa kelompok yang mencoba mengklaim sebagai pemilik otoritas keagamaan. Padahal, sejarah Islam mencatat, tidak ada sebuah lembaga otoritatif yang dapat mengklaim sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Islam tidak mengenal institusionalisasi keagamaan yang dapat memproduk fatwa-fatwa keagamaan sebagai wakil dari sabda Tuhan.

Fenomena main hakim sendiri dari sekelompok umat merupakan pertanda betapa ekspresi kebebasan beragama sedang berada di ujung tanduk. Suasana yang tergambar begitu mencekam: ada umat yang menjerit karena rumah ibadahnya yang terbakar, kitab sucinya yang ternistakan, harga dirinya yang dihinakan, keyakinannya yang dianggap sesat. Mungkinkah seorang yang mengklaim dirinya saleh tega melakukan penganiayaan? 

Tidakkah dalam sejarahnya Islam hadir dalam konteks pembelaan atas hak-hak individu, kebebasan dan kesetaraan. Pengakuan atas prinsip-prinsip kemanusiaan itu terekam dengan jelas dalam pidato Nabi Muhammad di saat melaksanakan Haji Wada (Haji Perpisahan), sebagai berikut, "Wahai segenap manusia, darah dan harta-benda kalian adalah suci untukmu..."

Dikarenakan darah dan harta-benda itu suci, menurut beberapa ulama, Islam tidak hanya mengakui adanya hak-hak asasi manusia, tapi juga menjamin dan melindungi setiap kehormatan individu-individu, sekalipun non-Muslim.

Sejarah keberagamaan adalah sejarah manusia yang mencoba memanifestasikan dan mengekspresikan rasa kebertuhanannya. Dalam konteks itu, sejarah amat sangat berperan membentuk bangunan keberagamaan sebuah agama. Realitas itu juga dimiliki oleh Islam, tanpa kecuali. Artinya tidak ada wahyu yang mampu berdiri di ruang kosong peradaban manusia. Ia selalu dimaknai dalam terminologi budaya manusia.

Karenanya, kehadiran setiap kelompok harus dianggap sebagai sebuah proses di mana mereka mencoba menangkap realitas Tuhan yang transenden itu menjadi imanen. Dalam tradisi itulah mungkin mereka menemukan makna keberagamaannya yang damai dan sentosa. Oleh sebab itu ketika mereka menemukan kedamaian dalam kasih Tuhan, mengapa pula kita mengintervensi keyakinan tersebut, apalagi dengan mendakwanya sebagai aliran sesat.

Agar tragedi di beberapa tempat tidak berujung intimidasi sampai penyerangan yang berujung pada pembantaian pada kelompok yang berbeda dengan kita tidak terjadi, maka sudah saatnya aparatur hukum bertindak preventif. Sudah menjadi tugas negara melindungi warga negaranya dari kesewenangan sekelompok orang yang berkuasa. Keterlibatan negara dalam hal ini sama sekali tidak berkonotasi mengintervensi sebuah agama atau keyakinan, melainkan untuk kepentingan pembelaan atas hak-hak sipil kelompok yang tertindas.

Melalui penegakan hukum sesungguhnya negara telah melakukan fungsinya sebagai pelindung bagi kelompok-kelompok marginal, juga membantu mengembalikan citra agama dari wajahnya yang beringas menuju kedamaian.

Di samping itu dengan adanya penegakan hukum, negara secara serius menjamin kebebasan kehidupan umat beragama. 

*
Penulis adalah anggota Litbang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama(ISNU) Demak, Mahasiswa Pascasarjanan UIN Walisongo Semarang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat

Status Indonesia sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih