Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Dikibuli Khilafah

Gambar
Namanya Mariam Abdullah. Wanita asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih polos bernama Nabila, dan tiga anak lainnya masih kecil-kecil. Saat saya menulis ini, dia tengah berada di Kamp Al Hol, Provinsi Al Hasakeh, Suriah. Dia berada di sana, setelah keluar dari pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, setelah berhasil dipojokkan pasukan Suriah dan milisi Kurdi. Suaminya bernama Saifuddin, yang saat ini entah dimana, tidak diketahui keberadaannya. Masih hidup atau mati. Di pengungsian yang berjarak 60-70 jam jalan kaki dari Baghouz itu, mereka bersama ribuan keluarga ISIS lainnya, berasal dari berbagai negara. Di kamp yang hanya menampung 10 ribu orang itu, terdapat 60-70 ribu orang pengungsi. Di pengungsian yang melebihi kapasitas itu, sanitasi dan cuaca musim dingin pun menjadi ancaman. Penyakit hipotermia dan penyakit menular lainnya kini tengah menghantui. Entah sejak kapan Mariam dan anak-anaknya, diajak sang kepala keluarga, Saifuddin

Pancasila Sebagai Pelindung Ideologi Radikalisme

Gambar
Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhineka). Dalam menghadapi ancaman terorisme di Indonesia, penanggulangan yang dipilih harus senantiasa berlandaskan Pancasila, seta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip utama kebijakan, strategi, dan upaya-upaya yang dijalankan. Selain itu, nilai-nilai keberagaman bangsa Indonesia dapat digali dari Pancasila karena di dalamnya mengandung filosofi berbangsa dan bernegara. Filosofi tersebut tentunya masih memerlukan pemaknaan lebih lanjut agar dapat memperoleh nilai (value), sebagi rujukan konsep keberagaman bangsa. Karakteristik keberagaman bangsa memiliki arti yang luas, di mana di dalamnya turut mengantisipasi bahaya akan geraka

Belajar Demokrasi dari Teladan Nabi

Gambar
Ada sebagian orang yang enggan menerima demokrasi sebagai sistem bernegara, dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada pula yang menerima demokrasi secara mentah-mentah, sehingga cenderung terlalu bebas dalam aplikasinya dan terlalu mengekor ke Barat. Sementara sebagiannya lagi, menerima demokrasi dengan sedikit rasionalisasi bahwa nilai-nilai yang diusung di dalamnya disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mengakui bahwa semenjak Islam diturunkan, telah ada perintah untuk bermusyawarah, yang merupakan esensi dari demokrasi. Klasifikasi sikap seseorang dalam menerima demokrasi bisa kita temui dalam buku ciamik berjudul  Rasul pun Mau Ngobrol , karya Cakra Yudi Putra. Untuk kelompok pertama, penulis buku mengistilahkan sebagai fundamentalis-tekstual. Kelompok kedua adalah liberalis-kontekstual. Sementara kelompok terakhir adalah modernis-kontekstual. Berangkat dari klasifikasi inilah, kerangka buku ini dibangun. Buku ini hadir se

Akal Sehat Demokrasi ala KH A. Wahid Hasyim

Gambar
19 April 2017 adalah sejarah duka bagi bangsa Indonesia dan warga NU. Salah satu sosok peletak batu pertama NKRI, yaitu Kiai Haji Abdoel Wachid Hasjim atau KH. A. Wahid Hasyim yang tepat enam puluh empat tahun yang lalu, 19 April 1953, berpulang ke Sang Hyang Widhi, setelah luka di kepalanya tidak mampu diatasi. Sejujurnya maksud penulis mengangkat kembali Wahid Hasyim adalah fakta bahwa beliau yang notabene-nya menjadi penentu dan penengah di tiap kali perdebatan vital, sekaligus juga pembawa pesan Islam yang mencerdaskan, layak untuk direfleksikan minimal di tengah ketidakdewasaan berpikir akibat kegagapan demokrasi. Penulis katakan demikian tentunya beberapa pihak mengelak dengan pembelaan ‘kedewasaan demokrasi’. Pertanyaannya, bagaimana mungkin ada apologi seperti itu jika yang terjadi adalah saling klaim kebenaran dan justifikasi kesalahan pihak lain? Bukankah dalam demokrasi Indonesia akal sehat dan etika-moral harus menjadi panglima di atas kebebasan–sebagaim

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an

Gambar
Kita sudah mengetahui bersama bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara Islam dan bukan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, melainkan menggunakan sistem demokrasi. Akhir-akhir ini, ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa menjalankan hukum dan sistem pemerintahan dengan hukum dan sistem lain selain hukum Allah SWT juga termasuk syirik, seperti sistem demokrasi di Indonesia. Bahkan penerapan hukum di luar hukum disebut sebagai syirik akbar. Sedangkan para penganut syirik akbar ini dianggap batal syahadatnya, bahkan sudah disebut kafir. Salah satu ayat yang digunakan adalah Surat Al-Kahfi ayat 26. وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا Artinya, “Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorang pun.” Ayat ini menjadi pegangan oleh salah satu terpidana terorisme yang telah dijatuhi hukuman mati, Aman Abdurrahman, untuk melakukan kekerasan dan terorisme. Ayat di atas dipahami oleh kelompok mereka bahwa setiap orang yang menyekutuk

Lima Tanda Sikap Berlebihan dalam Beragama yang Patut Kamu Hindari

Gambar
Setiap hal yang berlebihan adalah tidak baik. Selain Islam melarang berlebihan dalam makan dan minum, Islam juga melarang sikap berlebihan dalam beragama (ekstrim). Hal ini jelas termaktub dalam QS. Al-An’am ayat 141. وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141) “Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, dan jangalah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berlebihan.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam urusan zakat, yang termasuk bagian dari agamapun, kita dilarang untuk berlebih-lebihan. Lalu apa saja tanda-tanda orang yang memiliki sikap berlebihan dalam beragama? Menjawab hal ini, Yusuf Al-Qaradhawi dalam  al-Shahwah al-Islamiyah  baina al-Juhud wa al-Tatharruf  menyebutkan setidaknya ada lima tanda seseorang telah bersikap berlebihan dalam beragama. Pertama,  fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat yang lain. Tanda pertama ini adalah tanda perta

Demokrasi dan Generasi Milenial

Gambar
Ilustrasi (via KlikPositif) Generasi milenial merupakan kelompok penting dan utama dalam demokrasi Indonesia saat ini, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas mereka di ragam media sosial (medsos). Karakter muda atau milenial sangat potensial dalam memajukan demokrasi yang tengah berlangsung. Sebab, mereka memiliki semangat yang sangat tinggi (emosional), berpikir besar dan memiliki mimpi yang besar pula. Karakter milenial mempunyai banyak sikap positif dalam beberapa hal antara lain, bekerja cepat, suka perubahan dan kreatif-inovatif, artinya suka mengadopsi nilai-nilai atau sesuatu yang baru,  fairness,  artinya mereka segera mengakui kesalahan apabila merasa salah, baik terungkap atau tak terungkap dan segera mengoreksinya, heroisme sekaligus ‘Megalomania.’ Sisi minus atau negatifnya adalah karena suka melakukan sesuatu secara cepat, karakter milenial cenderung tergesa-gesa dan mengambil suatu keputusan tanpa analisa mendalam, karena instan. Generasi milen

Pancasila Teruji Jaga Keragaman Indonesia

Gambar
Hari Santri yang disahkan Joko Widodo pada 2015 lalu melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015. disambut antusias sejumlah kalangan, termasuk kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Pontianak, Kalimantan Barat. Mereka menggelar diskusi atau refleksi hari santri di taman depan gedung rektorat kampus setempat. Baihaqi selaku senior dan dosen Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak mengatakan bahw santri adalah sosok tauladan pemuda negeri. “Karena sikap mereka yang tunduk terhadap ulama dan kiai, menggambarkan akhlak mulia murid terhadap guru,” katanya, Selasa (23/10). Hari santri menggambarkan bahwa negara sangat menghargai keberadaan santri yakni dengan semangat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjaga kedamaian. “Hal ini sesuai isi Resolusi Jihad yang dikumandangakan Nahdlatul ulama di Surabaya pada tahun 1945,” jelasnya. Sedangkan Zulkifli selaku senior sekaligus dosen Fakultas Adab dan  Dakwah menjelaskan bahwa sant

Alasan Para Ulama NU Tidak Menerapkan Sistem Khilafah dan Negara Islam di Indonesia

Gambar
MusliModerat.Com - Mungkin ada diantara kita yang pernah terlintas dalam pikiran, yaitu: “Mengapa para ulama khususnya di Nahdlatul Ulama tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia setelah kemerdekaan padahal kondisinya saat itu sangat memungkinkan? Mengapa pula penerus perjuangan NU hingga saat ini tetap mempertahankan negara ini dan tidak merubahnya menjadi sistem Islam seperti khilafah?” Terlebih saat ini begitu marak kelompok yang memperjuangkan sistem negara Islam, baik yang berbentuk khilafah, piagam Jakarta, Perda Syariah dan lain sebagainya. Hal yang semacam ini kerap memunculkan propaganda yang menyudutkan NU, misalnya “NU yang murni adalah NU yang memperjuangkan Khilafah”, hingga mengakibatkan anak-anak muda NU, akademisi, pekerja profesional dan masyarakat awam sekalipun yang demam istilah “Syariah”, membuat mereka berpindah haluan secara ‘politik’ dan menjadi sipatisan mereka, meski secara amaliyah mereka tetap mengamalkan amaliyah NU. NU bukan paranoid terhadap s

TEROR MATI JAHILIYAH ALA HTI DAN ISIS

Gambar
Teror mati jahiliyah sering kali dilancarkan oleh HTI dan ISIS kepada umat Islam yang tidak turut memperjuangkan berdirinya Khilafah seperti yang mereka inginkan. Psikologis kalangan awam sedikit tertekan mendengar penjelasan hadits Nabi SAW tentang mati jahiliyah karena mereka takut mati dalam keadaan  su’ul khatimah . Siapa pun takut akhir hidupnya sia-sia, belum lagi bayangan siksa kubur dan azab neraka sudah di depan mata bagi mereka yang mati jahiliyah. Pemahaman sederhana kaum awam dimanfaatkan oleh HTI dan ISIS untuk memperkuat posisi mereka, melegitimasi perjuangan penegakan Khilafah sebagai perjuangan yang haq melawan sistem jahiliyah tudingan jahiliyah bagi kaum muslim yang berdiam diri apalagi bagi yang menghalangi dakwah mereka. Istilah mati jahiliyah diambil dari hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi: مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً “S