Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

Hasut dan Adu Domba adalah Dosa Besar. Kenapa Kita Sering Melakukannya?

Gambar
Tiap hari kita,  caci maki, kata-kata kasar, menuduh, stigmatisasi sesat dan sejenisnya masih terus meluncur dari mulut ke mulut dan berhamburan dari mimbar ke mimbar,  seakan-akan tak bisa berhenti atau dihentikan bagai busur (anak panah) yang dilepaskan ke arah sasarannya. Banyak hati yang terus membara, mendidih dan menyala-nyala, seakan terlampau sulit untuk padam.  Di antara mereka ada yang seperti amat senang memprovokasi, mengadudomba dan menyulut api permusuhan antar umat seagama atau berbeda agama atau antar warga negara. Akal intelektual sebagai unsur khas manusia yang karena itu ia menjadi terhormat, tak lagi digunakan. Ia telah disingkirkan dari ruang percakapan sosial. Yang menguasai diri adalah emosi yang siap membuncah dan meledak-ledak. Tetapi satu hal yang sungguh tidak dapat dimengerti adalah bahwa mereka yang terlibat dalam pusaran saling mengumbar marah dan menghasut itu menganggap diri paling mengerti tentang agamanya sambil membodoh-bodohk

Khawarij, Apa dan Siapa?

Gambar
Di dalam sejarah Islam banyak sekali aliran dan kelompok teologis yang berkembang. Banyak yang bertahan, namun ada pula yang telah sirna ditelan zaman. Di antara yang menarik banyak perhatian para pengkaji teologi Islam adalah  khawarij.  Dalam konteks sekarang, kelompok yang menamakan dirinya  khawarij  bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Akan tetapi secara sikap dan pandangan yang ekstrimis barangkali masih ada sampai kapan pun, termasuk hari ini. Secara etimologis,  khawarij  adalah bentuk plural dari  kharij  yang berarti orang yang keluar. Dalam bentuk plural,  Khawarij  bermakna orang-orang yang keluar. Kelompok ini menganggap dirinya sebagai orang yang mendaku sebagai paling islami. Kelompok khawarij dalam konteks klasik diterjemahkan oleh al-Syahrastani sebagai kelompok yang keluar dari sikap keberagamaan mayoritas ( al-Aswad al-A’zham ) di masa kekhalifahan al-Rasyidin, atau generasi  tabi’in  (generasi setelah sahabat Nabi) atau umat Islam di setiap zaman. Hal ini d

Mengafirkan Sesama Muslim, Takfiri, Dulu dan Sekarang

Gambar
Tauhid adalah alur pikiran yang menetapkan zat Allah dan menafikan selain-Nya. (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali,  Al-Iqtishad fil I‘tiqad , Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman 58-59). Hal ini tampaknya sederhana. Tetapi pada perkembangannya, para teolog Muslim (mutakallimin) terpecah ke dalam sejumlah aliran teologi seperti aliran besar yang kita kenal. Masing-masing aliran membuat formula-formula teologis yang biasanya rumit dipahami perihal tauhid. Sering kali masing-masing dari mereka kemudian bertindak melewati batas dengan meninggalkan jauh Al-Qur’an dan hadits atau memhaminya secara tekstual dalam membuat formula tersebut. Seiring perkembangan para mutakallimin ini kerap berdiskusi satu sama lain. Mereka mendiskusikan banyak hal yaitu eksistensi sifat tuhan, perbuatan tuhan, perbuatan dan ikhtiar manusia, kenabian, hingga kepemimpinan. Mereka cukup produktif melahirkan banyak karya (sekali lagi, biasanya rumit yang dibaca dengan mengernyitkan dahi) yang b

Kewenangan Kepada Manusia Untuk Membuat Hukum

Gambar
Ada kelompok yang menyebarkan pemahaman bahwa manusia tidak boleh membuat satu pun peraturan di luar peraturan yang diturunkan Allah. Lebih jauh, mereka menuduh kafir pada orang-orang yang membuat peraturan. Tuduhan kafir juga berlaku pada mereka yang mengikuti aturan buatan manusia. Namun, benarkah Allah melarang manusia membuat peraturan secara total? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah memerintahkan agar manusia mentaati keputusan, peraturan, dan hukum buatan manusia selama tidak bertentangan dengan ketentuan umum yang telah digariskan Allah. Berikut adalah sejumlah orang yang keputusan dan peraturannya diakui Allah. Allah memerintahkan manusia lain agar mentaatinya. Allah tidak mengkafirkan mereka, baik orang yang membuat peraturan maupun orang yang mengikuti peraturan tersebut. Siapa saja mereka? Pertama,  Rasulullah saw. Beliau adalah manusia yang ucapannya dapat menjadi aturan atau hukum. Allah swt. berfirman, إِنَّا أَنْزَلْن

Tidak Ada Istilah Khilafah dalam Al-Qur’an

Gambar
Banyak terjadi kerancuan di kalangan umat mengenai penggunaan istilah  Khalifah, Khilafah,  dan juga  Khalifatullah fil Ardh . Perlu saya tegaskan bahwa: 1. Tidak ada istilah  Khilafah  dalam al-Qur’an 2. Tidak ada istilah  Khalifatullah fil Ardh  dalam al-Qur’an 3. Hanya dua kali al-Qur’an menggunakan istilah K halifah , yang ditujukan untuk Nabi Adam dan Nabi Dawud. Mari kita simak bahasan berikut ini: Penggunaan terminologi atau istilah  Khalifah  itu hanya digunakan dua kali dalam al-Qur’an. Pertama, dalam QS 2:30: “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ." Konteks ayat ini berkenaan dengan penciptaan Nabi Adam AS. Ini artinya Nabi Adam dan keturunannya telah Allah pilih sebagai pengelola bumi. Penggunaan istilah  Khalifah  di sini berlaku untuk setiap anak cucu Adam. “ Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka se

Konsep Kepemimpinan Nabi Muhammad

Gambar
Khutbah I الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.  فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ:فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاس

Benarkah Nabi Marah Jika Agama Allah Dihina?

Gambar
Beredar di media sosial (medsos) potongan gambar yang berisi keterangan sebagai berikut: ‎كان صلى الله عليه وسلم لا يغضب لنفسه فإذا ا تنتهكت حرمات الله لم يقم لغضبه شيء Diberi penjelasan bahwa ini ucapan Sayyid Thantawi, yang disarikan dari Hadits riwayat Hindun bin Abi Halah, yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabarani dan Imam al-Tirmidzi. Lantas teks Arabnya diberi terjemahan sebagai berikut: "Nabi SAW tidak marah untuk kepentingan (pribadinya). Namun jika agama Allah dihina (ajaranNya dilanggar), maka tidak ada sesuatu apapun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau." Pernyataan lewat gambar dan video diviralkan untuk melegitimasi bahwa wajar orang Islam marah kalau ajaran agamanya dihina. Benarkah keterangan di atas? Mari kita ngaji bersama. Pertama , terjemahan teks di atas cukup tendensius. Kalimat yang benar justru yang di dalam kurung "jika ajaranNya dilanggar", bukan "jika agama Allah dihina". Pengembangan makna (untuk t