Pancasila Menurut Mayoritas Umat Islam Indonesia






Oleh : M. Khoirul Huda



Rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) telah menyulut polemik dari berbagai pihak. Di akar rumput, hal ini memantik kembali perdebatan dengan hubungan Pancasila dengan Islam. ABB disebut menolak menandatangani pernyataan sumpah setia kepada Pancasila.
ABB meyakini Pancasila dan sistem demokrasi yang digunakan dalam kehidupan politik masyarakat Muslim Indonesia merupakan bentuk kesyirikan. Sikap ini tentu berbeda dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang menerima Pancasila sebagai konsep yang tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, mayoritas bangsa Indonesia meyakini bahwa Pancasila adalah berasal dan menjadi bagian dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Mengamalkan Pancasila sama dengan mengamalkan Islam. Karena itu, tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan Islam.
Mayoritas Umat Islam Indonesia
Bagaimana kita tahu mayoritas umat Islam menerima Pancasila dan demokrasi? Sederhananya, kita dapat melihat pandangan resmi dua ormas Islam terbesar di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.
NU melalui Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada tahun 1983 telah mendeklarasikan Piagam Hubungan Pancasila dengan Islam. Dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak akan pernah menggantikan agama. Pancasila adalah falsafah kehidupan berbangsa. Penerimaan dan pengamalan Pancasila adalah bentuk perwujudkan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.  
Muhammadiyah yang memiliki sejarah panjang dalam pembentukan dasar negara melalui sejumlah tokohnya, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kasman Singodimejo, pada 2015 dalam Muktamar ke 47 di Makassar mendeklarasikan Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Deklarasi ini menegaskan Indonesia sebagai rumah bersama yang dibangun berdasarkan kesepakatan antara para pendiri bangsa sekaligus tempat untuk mewujudkan kesepakatan tersebut untuk kemajuan bangsa. 
Di sinilah kita dapat mengetahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia menerima Negara berdasarkan Pancasila. Penerimaan ini dikuatkan dengan temuan riset PPIM UIN Jakarta yang melakukan survei tentang Persepsi Ulama Tentang Negara Bangsa. Dalam laporan riset tersebut dikatakan bahwa 71,56 % ulama menerima bentuk negara bangsa. Sekitar 16,44% menolak bentuk negara bangsa (PPIM, 2018).  Laporan ini menegaskan bahwa mayoritas umat Islam yang diwakili para ulamannya menerima bentuk negara bangsa dalam hal ini Negara Pancasila. Mereka yang menolak tergolong kecil dibandingkan yang menerima. Lalu, posisi mayoritas-minoritas ini bila diteropong secara teologis?

Perspektif Teologis
Dalam perspektif teologi Sunni, mayoritas merupakan salah satu ‘standar’ yang digunakan para ulama untuk menentukan tingkat kebenaran suatu pandangan keagamaan dalam internal umat Islam. Ketika terjadi perselisihan di antara sesama umat Islam mengenai persoalan teologis, maka untuk mengetahui tingkat kebenarannya adalah dengan melihat jumlah para ulama yang menjadi pendukungnya. Di sinilah kemudian dikenal konsep ijma (kesepakatan), al-jama’ah (komunitas) dan sawad al-a’zham (golongan terbesar). Ketiganya merupakan konsepsi yang berbicara tentang kuantitas dalam perspektif mayoritas-minoritas.
Mayoritas sebagai standar kebenaran suatu pandangan teologis didasarkan kepada sejumlah pernyataan dalam hadis Rasulullah SAW. Pertama, hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik. Dikatakan, ittabi’u as-sawaad al-a’zham fa innahu man syadzdza syadzdza fi an-nar (HR Ibnu Majah). Pernyataan ini berarti, ikutilah kelompok ulama terbanyak. Karena orang yang menyendiri, dia akan menyendiri di neraka. Kedua, hadis riwayat Al-Tirmidzi dari Ibnu Umar. Dikatakan, inna allah la yajma’ ummati ‘ala dhalalatin wa yadullahi ‘ala al-jama’ah wa man syadzdza syadzdza fi an-nar (HR Al-Tirmidzi). Artinya, Tuhan tidak akan membuat umat Muhammad sepakat dalam kesalahan. Tuhan akan menjaga orang yang berkumpul bersama al-jama’ah. Orang yang memisahkan diri, dia akan masuk neraka.  Menurut Badruddin Al-Aini, arti al-Jama’ah dalam hadis di atas adalah para ulama. Demikian pula as-sawad al-a’zham adalah golongan para ulama yang banyak.
Di sini menjadi jelas bahwa mayoritas merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan tingkat kebenaran suatu pandangan teologis dalam Islam. Sekalipun bukan satu-satunya. Dalam konteks perbedaan pandangan mengenai posisi Negara Pancasila, mayoritas ulama Islam di Indonesia memilih menerimanya dan menjadikannya sebagai sarana melaksanakan ajaran Islam dalam konteks bernegara. Dengan demikian, pandangan yang dekat kepada kebenaran teologis Islam adalah pandangan yang menerima Negara Pancasila. Sekalipun mereka yang menolak tidak berarti keluar dari kebenaran Islam sama sekali. Dalam pandangan para ulama ahli hadis, mereka yang berbeda dengan pandangan mayoritas tetap Muslim dan tidak boleh dikafirkan. Wallahu a’lam.

 *Penulis adalah mahasiswa sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat

Status Indonesia sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih