DEMOKRASI DAN TEOLOGI KEBANGSAAN GUS DUR

Demokrasi dan Teologi Kebangsaan Gus Dur

Demokrasi dan Teologi Kebangsaan Gus Dur

Setiap tiba peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, banyak ekspresi yang dituangkan oleh masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kemerdekaan tersebut melalui berbagai arak-arakan, lomba, dan kegiatan kreatif lain sebagai sebuah bangsa. Namun, tidak sedikit yang terus mempertanyakan arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia itu sendiri mengingat ketidakadilan dan kesejahteraan sosial yang masih jauh panggang dari api.

Selain berbagai kegelisahan yang terus berkecamuk tentang arti kemerdekaan secara luas, ada baiknya bangsa Indonesia juga memahami mengapa kemerdekaan harus diraih dari tangan penjajah saat itu. Kesadaran ini penting mengingat rasa pilu bangsa Indonesia yang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis akibat selama berabad-abad mengalami penjajahan. 

Tak pelak kolonialisme ini juga masih menyisakan bekas terhadap mental bangsa Indonesia yang seakan terus minder terhadap kemajuan bangsa penjajah sehingga tak yakin dengan tumpukkan potensi, identitas bangsa yang kuat, serta kekayaan sumber daya alam yang jauh lebih melimpah jika dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dampak ketidakpercayaan diri di tengah persaingan global ini yang kemudian turut mereduksi identitas kebangsaan. Di titik ini alasan kemerdekaan individu maupun bangsa harus diungkap untuk alasan kemajuan di masa yang akan datang.

Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur secara tegas mengungkap 7 poin alasan mengapa saat itu bangsa Indonesia harus merdeka dari tangan penjajah dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Tujuh poin pernyataan ini tidak hanya dimaksudkan Gus Dur untuk menelaah kembali arti kemerdekaan masa lalu, tetapi juga sebagai dasar melangkah bagi bangsa Indonesia. Langkah ini agar tidak terjajah oleh berbagai ‘baju kotor’ yang terus menggelayuti rakyat Indonesia dalam bentuk kolonialisme modern berbalut agama, radikalisme global, penolakan terhadap tradisi dan budaya, intoleransi, kapitalisme pencekik rakyat kecil, reduksi moralitas, dan perilaku korup.

Tujuh poin ini diungkapkan oleh Gus Dur saat memandu diskusi dalam Forum Demokrasi (Fordem) pada 8 Agustus 1991 silam untuk memperingati HUT ke-46 RI. Menurut Gus Dur, kemerdekaan yang diproklamasikan oleh para Founding Fathers dapat terwujud karena setidaknya harus menyatakan beberapa hal mendasar yang menjadi unsur-unsur utamanya yang juga sebagai alasan fundamental bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan sebagai modal moral, spiritual, maupun material yang penulis sebut sebagai Teologi Kebangsaan Gus Dur untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia. 

Pernyataan pertama, kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia menjamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD)-nya bahwa sistem yang menghambatnya (penjajahan) tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan

Pernyataan kedua, kemerdekaan adalah hak, hak yang mendasar bagi setiap manusia. Karena itu, harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1959, perangkat hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia disusun dan digunakan sedemikian rupa sehingga kemerdekaan justru terancam oleh tindakan sewenang-wenang (license).

Pernyataan ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan (license) dalam penggunaa kekuasaan itu. Tergantung dari susunan dan penggunaannya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan. Dari 17 Agustus 1959 sampai Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan begitu terpusat di satu tangan seorang pemimpin, sehingga kemerdekaan tidak saja tertekan, tetapi juga telah mengakibatkan malapetaka kemiskinan dan kekerasaan.

Pernyataan keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegeraan tertentu. Semakin terpusat kuasan itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. Sejak Maret 1966, susunan kuasan kemasyarakatan dan kenegaraan kita sudah disebara meskipun harus diakui bahwa penyebaran itu masih sangat terbatas.

Pernyataan kelima, kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini, kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, sepeti lambatnya laju produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, meski daya cipta masyarakat dan daya kerja aparat kekuasaan yang rendah.

Pernyataan keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemsyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. Bila pengalaman masyarakat dan negara lain di dunia begitu diperhatikan, maka nyatalah bahwa kemerdekaan (liberty) selalu bergandeng dengan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan (fraternity), dan persamaan hak (equality). Semua ini bukan barang jadi, tapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun terus menerus.

Pernyataan ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. Uapay yang tak habis-habis dalam memeliharan keseimbangan ini bisa disebut demokrasi, di mana kemerdekaan hidup dan tanggung jawab yakni keseimbangan dengan persamaan hak bagi semua, serta dengan perasaaan senasib sepenanggungan. Mencapai keseimbangan ini adalah tugas masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sekarang.

Terlihat bahwa Gus Dur dalam 7 teologi kebangsaannya itu ingin menekankan kepada Indonesia bahwa kemerdekaan sebuah bangsa akan berfungsi dengan baik tatkala peran masyarakat dan negara mampu mencapai keseimbangan hidup. Keseimbangan yang dimaksud Gus Dur di sini ialah terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat dari pengelolaan sebuah negara. Hal ini menuntut adanya kesadaran senasib sepenanggungan dan persamaan hak di muka hukum bagi seluruh warga bangsa sesuai nilai-nilai dasar Pancasila.

Jika tatanan sosial itu bisa terwujud, maka timbal balik (feedback) untuk negara dari warganya adalah kemajuan peradaban yang lahir dari kemerdekaan yang telah diperjuangkan bersama. Titik tekannya yaitu, harus ada perbedaan pada zaman ketika bangsa Indonesia masih berada dalam kungkungan penjajah dengan kondisi merdeka yang saat ini telah diraih secara gemilang. Sederhananya, ketika bangsa Indonesia mengalami ketidakmanusiawian karena perilaku kolonial, maka saat ini warga negara wajib memperoleh perilaku manusiawi dari negara meliputi kemudahan akses pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan lain-lain. Dari kemudahan akses tersebut, warga bangsa juga wajib melakukan berbagai kegiatan positif secara aktif, kreatif, dan produktif untuk memajukan bangsa dan negaranya.

Dalam hal ini, penulis juga ingin menegaskan bahwa kemerdekaan Republik Indonesia tidak diraih secara gratis. Bukan pula kemerdekaan merupakan perjuangan instan bangsa Indonesia tanpa melakukan apa-apa (pasif). Kemerdekaan bangsa Indonesia diraih dengan cucuran darah dan gelimpangan nyawa rakyat yang membela tanah airnya dengan semangat spiritual dan keimanannya kepada Tuhan. Sehingga sangat ironis ketika ada kelompok yang mengatasnamakan agama tetapi berupaya memecah belah bangsa dan Republik Indonesia tercinta.


Penulis mengajar di Fakultas Agama Islam UNU Indonesia (Unusia) Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat

Status Indonesia sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih