Mendalami Makna Perdamaian


Agama Islam adalah agama damai. Secara harfiah, kata Islam sendiri memiliki arti damai, selamat dan pasrah (kepada Allah SWT). Sungguh disayangkan, banyak pihak di dunia internasional menilai Islam sebagai agama yang penuh kekerasan, menganggap Islam sebagai ancaman global. Ketakutan yang mereka rasakan sering diistilahkan dengan islamophobia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan buah dari tragedi 9/11 yang dilakukan oleh kelompok ekstremis, Al Qaeda. Sejak itu, anggapan orang awam tentang Islam sebagai agama radikal terus berkembang. Terlebih dengan meluasnya ancaman-ancaman yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Islamophobia atau ketakutan berlebih terhadap agama Islam terus muncul di negara-negara Barat. Diskriminasi kemudian lahir sebagai leburan dari perasaan asing mereka terhadap Islam yang diiringi kebencian dan dendam yang mendalam.
Padahal, jika memahami Islam secara lebih mendalam akan mengantarkan kita pada banyaknya anjuran perdamaian dibandingkan dengan perang. Telah banyak disampaikan pesan damai dalam Alquran yang bisa menjadi pedoman bagi umat Islam. 
Akan tetapi, tidaklah cukup menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup hanya dengan mengartikannya secara harfiah. Harus ada pemahaman kontekstual yang disesuaikan dengan kondisi di era sekarang.
Meskipun Alquran mencakup ayat-ayat tentang perang yang sering disalahartikan oleh beberapa orang, Allah menganjurkan untuk condong kepada perdamaian. Seperti yang tercantum dalam Surat Al Anfal ayat 61:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa memilih perdamaian menjadi salah satu tanda ketaatan manusia terhadap anjuran yang sudah diberikan oleh Allah Swt. Dalam hal berperang, anjuran untuk condong terhadap perdamaian juga dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. 
Telah umum diketahui bahwa dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw tidak serta merta diterima oleh seluruh masyarakat. Dalam kondisi tersebut, Nabi justru lebih memilih jalan damai daripada melakukan kekerasan. Penaklukan Mekah adalah bukti sejarah bagaimana Nabi mengedepankan perdamaian dalam berdakwah, bukan kekerasan.
Menciptakan Perdamaian
Bukan tanpa alasan, dakwah secara damai dilakukan Nabi Muhammad Saw sesuai dengan Alquran. Dakwah haruslah disampaikan dengan cara yang baik, serta tidak memaksa atau memberatkan yang didakwahi. Sekalipun ada pertentangan, adu argumen haruslah dilakukan dengan cara yang baik pula. Dengan demikian, kondisi atau sikap yang bisa menimbulkan dendam dan sakit hati dapat dihindari.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ 
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Selaras dengan ayat tersebut, Allah menganjurkan kepada umat muslim untuk tidak hanya mempertahankan perdamaian (peace keeping) namun juga mengupayakan lahirnya perdamaian (peace building). Pada Surat Al-Hujurat disampaikan bahwa sesama mukmin haruslah mampu menjaga perdamaian di antara saudaranya. 
إِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS Al-Hujurat: 9)
Perdamaian bahkan menjadi satu dari beberapa kebaikan dalam Islam yang diutamakan sebagaimana sedekah. Hal ini tercermin dalam ayat Alquran:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 114)
Perlu diingat bahwa memahami anjuran-anjuran tersebut akan sia-sia jika tidak diiringi dengan memaknai arti perdamaian itu sendiri. Secara teoretis, Johan Galtung mendefinisikan perdamaian sebagai suatu kondisi yang terbebas dari adanya konflik kekerasan dan terwujudnya keadilan serta kesejahteraan yang diperjuangkan di setiap lapisan masyarakat. Sehingga, perdamaian yang sesungguhnya tidak terbatas pada perdamaian fisik semata, namun juga termasuk di dalamnya adalah perdamaian batin. Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa menciptakan perdamaian yang sesungguhnya justru melibatkan perdamaian hati. 
Iswanto, Korban Bom Kuningan 2004 dalam kegiatan Dialog Interaktif “Menjadi Generasi Tangguh”.
Belajar dari Penyintas Terorisme
Praktik berdamai dengan hati dapat dipelajari dari siapa pun, termasuk penyintas terorisme, seperti Iswanto. Dia aktif menyuarakan perdamaian justru setelah menjadi penyintas Bom Kuningan 2004. Alih-alih menyimpan dendam, dia memilih memaafkan pelaku demi kedamaian hatinya.
Dalam sebuah acara yang diadakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Jakarta akhir Juli lalu, Iswanto menyampaikan bahwa memaafkan pelaku merupakan langkah awal untuk menciptakan damai bagi diri sendiri, sehingga dia mampu menyuarakan damai kepada orang lain di ke depannya. Meskipun peristiwa tragis tersebut menyebabkan 38 titik luka di tubuhnya serta kehilangan indra penglihatan sebelah kanan, dia mengaku telah ikhlas memaafkan pelaku bom.
Sikap Iswanto menunjukkan kepada kita bahwa keluasan hati untuk memaafkan bukanlah menunjukkan kelemahan, justru itu merupakan sifat orang yang kuat lagi tangguh lantaran ia bisa bangkit menghadapi tantangan hidup dengan lebih optimistis setelah memaafkan. Menurutnya, perasaan dendam hanya akan membuat rasa sakit berkepanjangan dan menimbulkan konflik baru di masa depan.
Iswanto telah menunjukkan sikap yang dianjurkan oleh Allah dalam menghadapi musuh, yaitu tidak membenci dan menyimpan dendam. Sebuah hadis riwayat Muslim juga mengatakan bahwa orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat. Seorang Muslim tidak dianjurkan menyimpan dendam karena Allah telah menjamin adanya balasan dari setiap perbuatan yang dilakukan setiap insan.
Demikian pula dengan memaafkan, Allah menjamin pahalanya. Di sisi lain, manusia juga harus selalu ingat bahwa musuh tidak akan selamanya menjadi musuh.
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” 
(QS Fushshilat: 34).

Sumber : https://www.aida.or.id/2019/10/5681/mendalami-makna-perdamaian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat

Status Indonesia sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih