Ada sebagian orang yang enggan menerima demokrasi sebagai sistem bernegara, dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada pula yang menerima demokrasi secara mentah-mentah, sehingga cenderung terlalu bebas dalam aplikasinya dan terlalu mengekor ke Barat. Sementara sebagiannya lagi, menerima demokrasi dengan sedikit rasionalisasi bahwa nilai-nilai yang diusung di dalamnya disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mengakui bahwa semenjak Islam diturunkan, telah ada perintah untuk bermusyawarah, yang merupakan esensi dari demokrasi.
Klasifikasi sikap seseorang dalam menerima demokrasi bisa kita temui dalam buku ciamik berjudul Rasul pun Mau Ngobrol, karya Cakra Yudi Putra. Untuk kelompok pertama, penulis buku mengistilahkan sebagai fundamentalis-tekstual. Kelompok kedua adalah liberalis-kontekstual. Sementara kelompok terakhir adalah modernis-kontekstual. Berangkat dari klasifikasi inilah, kerangka buku ini dibangun.
Buku ini hadir sebagai respon semakin menguatnya persepsi kelompok tertentu terhadap demokrasi sebagai produk kafir. Tapi pada saat yang sama, mereka menggunakan demokrasi untuk mengkampanyekan sistem baru yang dianggap lebih bisa membawa perubahan kepada kebaikan. Untuk meyakinkan publik bahwa demokrasi itu sistem cacat, adalah dengan cara mengaitkan seabrek persoalan negeri ini dengan kecacatan sistem demokrasi –dan selalu memberikan satu solusi yang utopis, khilafah.
Untuk menjelaskan konsep demokrasi kepada publik, buku ini merujuk kepada al-Qur’an dan hadits Nabi Saw., serta penjelasan ulama-ulama terkemuka. Buku ini agaknya mencoba mendamaikan demokrasi dan Islam, dua hal yang selalu diposisikan sebagai oposisi biner oleh kelompok tertentu. Tujuannya, supaya umat Islam bisa hidup di alam demokrasi seperti Indonesia ini. Ketika publik memiliki pemahaman yang baik terhadap demokrasi, maka harapannya bisa merespon dengan kritis seruan-seruan ‘kembali ke khilafah’ atau ‘formalisasi syariat’.
Bagi orang yang menolak mentah-mentah demokrasi lantaran dinilai tidak islami, kiranya perlu memerhatikan penjelasan Yusuf Qardhawi, cendekiawan muslim yang banyak menulis buku-buku berkualitas internasional. Menurutnya, sungguh aneh bila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kemungkaran dan kekafiran, padahal mereka belum, bahkan tidak mengetahui persis hakikat dan esensi demokrasi, serta mereka hanya mengetahui cangkang kulit luarnya saja (halaman 37).
Penjelasan Yusuf Qardhawi bisa kita baca dengan logika begini: jika sementara orang menilai demokrasi itu produk kafir, bukan berarti penilaian tersebut benar, sekalipun mengutip ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi sebagai pembenarnya. Alih-alih mengamini, langkah tepat yang musti kita tempuh adalah mendekati demokrasi itu sedekat-dekatnya, lalu pelajari inti dari demokrasi tersebut. Tidak cukup kita hanya mempelajari demokrasi hanya kulitnya saja, misal dengan merujuk pada praktik demokrasi yang gagal oleh negara tertentu –karena itu kasuistik.
Demokrasi diambil dari kata ‘demos’ yang artinya rakyat dan ‘kratos’ yang berarti kekuasaan. Jadi, secara sederhana, demokrasi adalah kekuasaan ada pada keputusan rakyat. Ini artinya, kolektivitas lebih dikedepankan dalam bernegara ketimbang individualitas (halaman 39).
Meskipun demokrasi merupakan istilah eksperimental orang-orang Barat sebelum abad ke-20, namun Islam telah mengenal demokrasi dengan istilah lain, yakni musyawarah (pengelolaan suatu urusan secara kolektif) sejak zaman nabi, 15 abad yang lalu. Dalam QS As-Syuura ayat 38 juga ditegaskan, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Bisa dikatakan, bahwa ayat ini dijadikan landasan teologis untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya di ranah politik kekuasaan, melainkan juga sosial-kemasyarakatan, supaya mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Ada banyak kisah teladan Rasulullah Saw. yang menunjukkan bahwa demokrasi (musyawarah) tidak berseberangan dengan Islam, bahkan bisa sebagai media untuk mencapai kemaslahatan. Misal, ketika tersiar kabar ada 3.000 pasukan Quraisy sedang menuju Madinah. Dengan sigap, Rasul memanggil para sahabat untuk bermusyawarah. Rasul sendiri menganggap menunggu musuh itu lebih baik, sementara ada sahabat yang mengatakan sebaliknya. Akhirnya, Rasul mengikuti pendapat sahabat tersebut dan langsung mengambil baju zirah lalu berangkat menjemput musuh (halaman 250).
Harakatuna.com . Tangerang-Para ulama se-Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi yang tergabung dalam Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara (FKMNU) menyatakan menolak segala bentuk tindakan inkonstitusional yang mengancam keutuhan bangsa dan negara, dan menolak gerakan People Power yang merusak kesucian bulan suci Ramadhan. FKMNU juga menyatakan mempercayai dan mendukung KPU untuk bekerja profesional, jujur dan adil. Juga mendukung TNI dan Polri untuk mengambil tindakan tegas demi melindungi keamanan nasional dan penegakan hukum berdasarkan Pancasila. Kepada pihak-pihak yang melakukan delegitimasi KPU dan menolak hasil Pemilu, FKMNU menyarankan agar menghentikan langkahnya tersebut. Apabila merasa tidak puas atas hasil Pemilu, disarankan menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Peryataan tersebut dideklarasikan usai musyawarah FKMNU di rumah Pengasuh Ponpes Ummul Quro yang juga pengasuh Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (Padasuka) KH Syarif Rahmat ...
Apakah Indonesia bisa berkontribusi untuk perdamaian dunia? Pertanyaan ini yang membuat para ulama dan tokoh agama berkumpul di tengah makin menguatnya prasangka buruk, ujaran kebencian, intoleransi, dan kasus-kasus kekerasan berbasis agama di sejumlah negara. Apalagi, setelah pertemuan Imam Besar Al Azhar, Sayyed Ahmed al Thayeb dengan Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi. Pertemuan yang juga dihadiri sekitar 400 para pemimpin agama-agama di dunia, termasuk pakar tafsir Indonesia Prof Muhammad Quraish Shihab, ini menghasilkan “ Dokumen Persaudaraan Manusia ” yang menegaskan umat manusia di seluruh dunia agar senantiasa membina persahabatan, menjalin persaudaraan, saling menghormati dan tidak mempolitisasi agama untuk kepentingan politik praktis sehingga memecah belah persaudaraan seluruh umat manusia, sebangsa dan setanah air. “Keyakinan bahwa ajaran asli agama-agama mendorong manusia untuk hidup bersama dengan damai, mengharg...
Rais Syuriyah PBNU KH Mustofa Aqil Siroj menerangkan, saat Nabi Muhammad hijrah, setibanya di Madinah, ia melihat bahwa rupanya penduduk di Madinah beragam. Ada Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lain. Bagaimana sikap Nabi melihat keragaman seperti itu? “Begitu Nabi melihat keragaman itu, Allah membimbingnya. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah memerintahkan Nabi berbuatlah baik dan bersikaplah adil kepada siapa pun yang tidak memusuhi kamu,” jelas Kiai Mustofa dalam Peringatan Haul ke-9 Gus Dur, di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, pada Senin (7/1) lalu. Dikatakan, jika konteks ayat tersebut ditarik ke Indonesia, maka sudah jelas bahwa pemeluk agama-agama lain sama sekali tidak memusuhi Islam. “Apa pun agamanya selama mereka tidak memusuhi, maka jangan dimusuhi,” tegas Ketua Umum PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) ini. Artinya, imbuh Kiai Mustofa, Allah melalui Nabi...
Komentar
Posting Komentar